Tuesday, September 24, 2013

Tumirah, Seniman Tempat Tidur

"Rasa sakit ini sudah bukan pertama kali. 
Nikmat malam hari tak datang saat pagi. 
Ditiduri bukan jaminan untuk dicintai."

Tumirah dijelajahi tubuhnya, tanpa merasa dicintai.
Ini hanya sebuah pekerjaan baginya. Pekerjaan untuk menyenangkan hati para pembelinya. Pembelinya tidak selalu membayarnya dengan uang. Kebanyakan hanya memberinya cerita dan pujian yang menyenangkan hatinya.

Tumirah masih berterima kasih karena bisa membahagiakan orang dengan tubuhnya.

Tumirah tidak pernah berusaha menghalau sakit. Ia menikmati setiap lukanya. Luka membuatnya belajar arti bahagia. Walau seringkali ia menangis menikmati lukanya.

Ia muda, terlalu muda untuk mengerti banyak hal.

Tumirah memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar pada pembelinya. Pembelinya tak hanya dari kalangan sepantaran, ada juga pejabat bahkan rakyat kecil. 

Ia terlalu mengerti bagaimana seharusnya posisinya. Hanya tak dibiarkannya pembelinya berlalu tanpa memberikannya cerita baru. Murah tidak membuatnya bodoh.
Tumirah pintar memuaskan pembelinya. Dibuatnya pembelinya merasa nyaman padanya dan tanpa sadar menceritakan keluh kesah yang dialaminya pada Tumirah.
Tumirah tidak pernah memberikan satu pun solusi untuk keluh kesah mereka. Tumirah hanya mendengarkan dan menunjukkan ekspresi empati pada seluruh cerita yang ia dengarkan. Itu cukup untuk membuat para pembelinya diperhatikan.
Tak ada pertanyaan yang terlalu spesifik yang keluar dari mulutnya. Memberi tanggapan hanya sekedar "oh ya?" untuk mengimbangi pembicaraan.

Setelah itu Tumirah akan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Walaupun mereka hanya membeli Tumirah sekali.
Mereka menganggap Tumirah sebagai persinggahan istimewa mereka. Mereka nyaman saat berada disisi Tumirah. Tumirah pun menganggap mereka selayaknya pasien yang harus disembuhkan luka hatinya.

Tumirah tak masalah ketika mereka harus pergi setelah merasa puas. Bohong kalau dikatakan ia tak sedih. Tapi ia tetap sadar siapa dirinya.

Bagi Tumirah cukup melihat ekspresi bahagia mereka saat pergi. Sudah melegakan hatinya.

Lagi-lagi Tumirah jatuh cinta pada seorang pembelinya. Tapi ia sadar, siapalah dia. Seorang yang tak pantas mendapatkan kebahagiaan untuk wanita kebanyakan; keluarga.

Tumirah hanya persinggahan, bukan rumah utama. Siapa yang mau berlama-lama dirumah persinggahan jika memiliki rumah utama?

Tak ada yang cukup peduli akan perasaan Tumirah.
Bertemu dan mengenal karakter banyak orang bukan berarti membuatnya kebal begitu saja terhadap rasa sedih.

"Jangan tanya saya, saya bukan Tumirah. Saya hanya mencoba membayangkan apa yang dirasakan oleh Tumirah."

No comments:

Post a Comment